Kenangan
Terakhir
Karya : Hilda Yulianjani
Sudah beberapa bulan ini aku dan Gita tak menjalin
komunikasi, sejak tragedi itu hubungan antara keluargaku dan keluarga Gita
menjadi renggang. Aku pun menjadi sangat pendiam jika bepergian, sementara Gita
sahabatku sejak kecil masih terbaring koma di rumah sakit.
Tragedi itu terjadi ketika liburan
beberapa tahun lalu, Gita mengajakku pergi ke pantai untuk sekedar bersenang –
senang bersama. “Hil, ke pantai yok mumpung liburan nihh.. Mau gak??”, ajak Gita
padaku. “Ya aku sih mau aja Git, tapi mamaku apa mau mengijinkanku??”, jawabku
penuh keraguan.
Kemudian aku dan Gita pulang ke rumah
masing – masing. Malamnya aku mencoba mengirimkan pesan singkat pada Gita yang
isinya “Gita, maaf ya.. Aku kayaknya gak bisa pergi ke pantai bareng kamu dehh
soalnya mamaku gak ngijinin”. Setelah membaca pesan dariku, Gita tiba – tiba
datang ke rumahku guna meminta ijin pada mamaku secara langsung.
Setelah lama Gita berdebat dengan
mamaku, akhirnya aku dan ia mendapat ijin untuk pergi ke pantai bersama asalkan
kami bisa menjaga diri dengan baik dan selalu berdo’a.
Hari yang dinanti – nanti pun tiba,
pagi –pagi buta saat fajar belum memunculkan batang hidungnya, aku dan Gita
sudah siap berangkat ke pantai dengan sepeda. Wajah Gita terlihat sangat
bahagia saat itu. Namun entah kenapa tiba – tiba Gita menjadi sangat gelisah,
ia merasa akan ada sesuatu saat di perjalanan nanti. Lalu ia teringat dengan
boneka kecilnya yang ia bawa. “Hil, ini aku punya boneka tolong kamu bawa yaa..
Aku takut kalo nanti boneka ini hilang di perjalanan, soalnya boneka itu sangat
berharga bagiku”, kata Gita sambil memberi boneka itu.
Aku pun dengan senang hati menerima
boneka itu. Lalu kami pun segera mengayuh sepeda supaya tak kesiangan saat di pantai
nanti. Aku merasa senang sekali karena sudah lama tak pergi bersama Gita. Namun
Gita kelihatannya tak merasa senang seperti awal ia mengajakku ke pantai, ia
merasa gelisah dan terus saja terdiam sejak ia merasa ada sesuatu.
Setelah kurang lebih 1 jam kami
bersepeda, akhirnya kami sampai juga di pantai yang dituju. Aku dan Gita pun
sudah tak sabar tuk beranjak ke pasir pantai yang indah itu. Tak lupa aku dan
Gita memanfaatkan panorama indah di pantai dengan berfoto ria.
Cukup lama kami berdua menghabiskan
waktu di pantai. Dan akhirnya pun kami memutuskan untuk pulang karena cuaca
saat itu terlihat mendung tak menentu. Gita masih saja terlihat gelisah. “Git,
kamu tuh kenapa sih?? Kok daritadi aku liat kamu gelisah banget gitu. Ada apa
sihh?? Cerita donk, Git !”, omelku yang sedari tadi cemas dengan Gita.
Saat di perjalanan pulang, tiba – tiba
saja hujan turun sangat deras. Aku selalu berusaha menggandeng tangan Gita
sambil mengayuh sepeda, sebab aku takut ia kenapa – kenapa. “Tenang aja Hil, kamu
gak usah yaa.. Aku akan slalu nemenin kamu kok”, kata Gita menghiburku.
Tiba – tiba saja saat aku dan Gita
tengah asyik mengayuh sepeda ditemani hujan yang semakin deras, dari kejauhan
muncul sebuah truk besar yang melaju sangat cepat. Aku pun merasa sangat panik
bercampur takut, namun Gita selalu berusaha menenangkanku. Truk itu semakin
lama semakin dekat, aku menyarankan pada Gita agar berhenti sebentar sekedar
untuk menyingkir dari badan jalan karena firasatku mulai tak enak. Namun Gita
keras kepala, ia tak mau. Seperti firasatku, tanpa sadar truk itu pun akhirnya
menghantam dan menyambar sepeda kami yang mungil dan tergeletak di tengah
jalan. Tragisnya truk itu malah melaju semakin cepat dan tak mempedulikan kami
berdua yang terbaring lemah di jalan.
Aku sempat tak sadarkan diri, namun
kemudian aku tersadar dan langsung mencoba menyelamatkan Gita yang sekujur
tubuhnya sudah dipenuhi darah. “Gita, bangun Git.. Gita kamu gak papa kan??
Bangun Git, jangan tinggalin aku sendiri..”. Aku hanya merintih menahan rasa
sakit dan terus saja menangis melihat keadaan Gita. Sungguh menyesalnya diriku
karena sudah menuruti kemauan Gita ke pantai.
Aku berusaha mencari pertolongan warga
sekitar, namun apadaya saat itu aku tak bisa bangun sebab kaki kananku terluka.
Di tengah rintikan hujan yang semakin deras, tiba – tiba ada seorang bapak
melintas di depanku. Aku lantas memanggil –manggil bapak itu untuk meminta
pertolongannya. “Pak, tolong Pak.. Tolong.. Tolong teman saya ini, Pak !!”,
ucapku sambil berteriak di tengah riuhnya bunyi hujan. Dengan cepat bapak itu
bergegas membawaku dan Gita ke rumah sakit terdekat. “Alhamdulillah ya Allah..
Akhirnya Kau memberi pertolongan pada kami”, ucapku dengan penuh rasa syukur.
Setelah kejadian itu, aku merasa
sangat bersalah dan trauma jika naik sepeda, keluargaku pun merasa bersalah
karena Gita mengalami koma. Akhirnya, keluargaku memutuskan untuk menjenguk
Gita di rumah sakit. Setiba kami di sana, kami bergegas menuju kamar Gita
dirawat. “Om, Tante, gimana keadaan Gita sekarang??”, tanyaku cemas. Keluarga
Gita hanya menangis dan tak berkata sedikitpun. Aku tak dapat berkutik, aku
hanya bisa menangis melihat kondisi Gita saat ini terbaring lemah. Ketika semua
orang dalam ruangan sedang terduduk cemas. Di tengah kesunyian ruangan ini, tiba
– tiba terdengar suara dari sebuah layar komputer kecil yang terletak di
sebelah Gita terbaring. “Tit... Tit... Tit... Tit... Tit... Tit...
Tiiiiiiiiiiiiiittt”. Mendengar suara itu, semuaorang terbangun dari duduk dan
menuju kamar Gita.
Tiba – tiba nafas Gita tidak teratur,
dia seperti mengalami sesak nafas. Salah satu dari keluarga pun memanggil
dokter. Setelah diperiksa dokter mengatakan, “Maaf, nyawa Gita sudah tidak
terselamatkan lagi. Dia meninggal dunia”. Pandanganku kabur, pikiranku tak
beraturan. Denyut jantung berdebar sangat kencang. Tubuhku bagai diterpa badai
besar. Kakiku serasa dihantam ombak – ombak pantai yang semakin lama membuatku
jatuh di pasir. Tak pernah terpungkiri, nasibku semalang ini. Ditinggal pergi
sahabat tercinta untuk selamanya.
Lalu dokter dan perawat melepas alat
medis yang melekat pada Gita. Tubuhnya ditutupi kain putih bersih. Kulihat
wajahnya berseri – seri seakan – akan dia puas dengan hidupnya selama ini.
Keesokan
harinya, aku mengikuti proses pemakaman Gita. Tak cuma aku namun guru dan teman
– teman sekolah pun ikut menyaksikan proses pemakaman Gita untuk melihat Gita
terakhir kalinya. Semuanya menangis. Hanya isak tangis yang ku dengar waktu
itu. Semua mata memerah dan tubuh lemas terduduk di tanah.
Dengan
khidmat kusaksikan tubuh Gita terbaring kaku diselimuti kain putih di liang
kubur dan penggali kubur sudah mulai mengisi liang dengan tanah. Saat itulah, terakhir
kali kulihat wajah Gita yang cantik jelita meninggalkan cerita haru. Dan saat
itu juga aku teringat pada sebuah boneka kecil yang dititipkan Gita padaku
sesaat sebelum terjadi kecelakaan tragis yang menelan nyawanya. Kutaburkan
bunga mawar dan melati sebagai tanda penghormatan terakhir sekaligus rasa maaf
dan terima kasih atas semua yang dilakukan sampai saat ini. Aku dan keluarga
hanya berharap, semoga Gita akan lebih bahagia di akhirat sana.


